Jumat, 10 Juni 2011

SAATNYA KADER PERSYARIKATAN "KRITIS"

PENDIDIKAN DI INDONESIA MELAWAN AKAL SEHAT
Oleh: Mulyanto

Amanah UUD 1945 yaitu, pendidikan hadir dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan mencetak budi pekerti, budi pekerti tidak cukup “dikurikulumkan” tetapi budi pekerti harus menjadi “warna” dari setiap mata pelajaran, sehingga pengembnagan kepribadian dapat tumbuh dan berkembang dengan maksimal pada diri anak bangsa.

Ada 5 prinsip pendidikan menurut Ki HD, yaitu: 1) freedom (kebebasan) dengan tanggungjawab dan rasa hormat; 2) potential (modal Alami) be your self; 3) culture (kebudayaan) pemekaran dari kondisi mental/emosional; 4) nationality (kebangsaan) identitas kolektif sebagai bangsa; 5) humanity (kemanusiaan) kesatuan bahasa, tanah air dan bangsa.

Pada prinsipnya dan didasari oleh fitrah manusia bahwa tujuan pendidikan bukan menyamaratakan murid dapat paham seluruh muatan pelajaran, sehingga nilannya baik dan lulus dengan bangga. Tetapi pendidikan bertujuan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter murid. Maka dari itu sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi, “karena sudah tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan...” kenapa demikian? karena sudah tidak menghargai fitrah manusia, contohnya tidak semua siswa dalam satu kelas berkeinginan jadi pegawai negeri kan? Atau dokter semua kan? Dsb. Tapi kenapa semua siswa dicekoki pelajaran secara merata? karena yang sesungguhnya terkadang kesemuanya itu jauh tidak relevan.

Jika kita lihat di negara maju, pendidikan disana memahami persis fitrah manusia dengan berbeda-beda, penghargaan atas talen dan keunikan SDM dihargai setinggi-tingginya. Jadi jangan heran jika atlit dan penyanyi mendapatkan penghasilan tinggi/besar dibanding penghasilan bankir, birokrat, maupun politisi. (Kusuma Andrianto, 2010). Ibarat tanaman tropis yang tidak dapat tumbuh di daerah 4 musim. Contoh buah apel tidak mungkin hidup ditanam di padang pasir, tetapi kurma akan berbuah lebat dan manis-manis jika tumbuh di padang pasir.

Problematika dan Rekomendasi
Pendidikan di Indonesia melawan akal sehat. Mari kita amati seksama bahwa, infrastruktur pendidikan dari sabang sampai merauke, pelosok hingga kota tidak sama. Tapi, soal Ujian Nasional (UN) sama. Dari mana kita bisa katakan sesuatu yang tidak melawan akal sehat kita?. Celakanya, SIKDISNAS menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Hal ini tentu jelas mengabaikan proses interaksi guru dan murid selama proses belajar yang telah dilakoninya setiap hari. Dan yang paling ironis potret pendidikan kita akibat UN, guru jadi dalang kecurangan disitu. Memberi jawaban dalam bentuk dan metode apapun asal anak didik lulus, sekolah citranya baik dan jika wali murid dimintai sumbangan tidak “seret”. Aneh...

Ending-nya, siswa yang lulus biasanya hura-hura, corat coret sekujur tubuh dan pakaian. Dan biasanyapun dipuji-puji bak DEWA. Sedangakan siswa yang tidak lulus biasanya depresi, stres, gila bahkan ada yang bunuh diri, biasanya termarjinalkan di lingkunagnnya. Apa guru tidak pintar? cerdas? atau cerdik?. Tentu banyak yang pintar, tapi tidak bermoral. Oknum guru yang demikian itu sudah memonopoli pendidikan, jadi guru sebatas formalitas, pragmatis dan transaksional. Padahal dibalik semua itu guru merupakan eksemplari moral yang berkembang di masyarakat dituntut mampu membawa perubahan, mencerdaskan anak bangsa denagn prinsip penguatan nilai-nilai moral, akhlaq, dan budaya.  

Fenomena kekerasan, kecurangan, korupsi dan gaya hidup instan dalam dunia pendidikan perlu dibumi hanguskan, kemudian reformasi pendidikan serta revitalisasi untuk membentuk karakter anak bangsa yang berakhlaq mulia harus kita terus perjuangkan. Pendidikan jangan berhenti di UN, mendidik, tranformasi ilmu pengetahuan, penanaman nilai-nilai perlu diteruskan demi tercapainya tujuan pendidikan yang sesunggungnnya.

*Disampaikan pada sambutan Seminar Pendidikan dengan tema: “menyoal problematika pendidikan di Indonesia: pragmatisme vs idealisme” diselenggarakan PK IMM “Reformer” UIN Malang, pada tanggal: 04 Juni 2011
*Penulis adalah Ketua Bidang Hikmah PC IMM Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar